KOMIK KONTAN

Kamis, 21 April 2011

Peraturan Dirjen Nomor PER-5/PJ/2011

Ketentuan tentang pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang relatif sulit untuk difahami berpotensi menimbulkan kesalahan dalam pelaksanaannya. Ada dua kemungkinan akibat dari kesalahan ini yaitu PPh yang dipotong masih kurang dari seharusnya dan PPh yang dipotong melebihi dari seharusnya. Nah, jika ternyata PPh yang dipotong ternyata melebihi dari seharusnya, apa yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak? Untuk mengetahui jawabannya, silahkan teruskan membaca tulisan ini.

Nah, belum lama ini Dirjen Pajak telah mengeluarkan peraturan yaitu Peraturan Dirjen Nomor PER-5/PJ/2011. Peraturan ini mengatur tatacara pengajuan dan pemrosesan permohonan restitusi PPh yang seharusnya tidak terutang. Menurut saya, peraturan ini merupakan hal baru yang perlu diapresiasi karena akan memudahkan Wajib Pajak untuk mengklaim kelebihan pajak yang biasanya diakibatkan oleh kesalahan pemotongan atau pemungutan yang memang biasa terjadi dalam praktek.

Namun demikian, ketentuan ini seharusnya dikeluarkan segera setelah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007 terbit yang mengatur tatacara pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Jangka waktu sekitar tiga tahun, rasanya cukup lama untuk menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak ini.

Kondisi Yang BIsa Diajukan Pengembalian

Pajak yang seharusnya tidak terutang yang dapat dimintakan pengembalian diantaranya adalah karena terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan PPh. Kesalahan ini bisa terjadai karena PPh yang dipotong atau dipungut lebih besar dari seharusnya berdasarkan ketentuan misalnya pemotongan atau pemungutan PPh terhadap bukan subjek pajak. Contoh lain misalnya pemotongan atau pemungutan PPh dikenakan terhadap Wajib Pajak yang seharusnya tidak dipotong atau dipungut seperti jasa yang bukan objek PPh Pasal 23 tetapi dipotong PPh Pasal 23.

Bisa juga terjadi PPh yang dipotong atau dipungut lebih besar dari seharusnya. Misalkan, PT ABC memotong PPh Pasal 23 dengan tarif 4% atas jasa teknik, padahal semestinya 2%. Kelebihan pajak yang seharusnya tidak terutang juga bisa disebabkan oleh kesalahan penerapan ketentuan oleh pemotong atau pemungut pajak.

Kondisi lain yang bisa menyebabkan terjadinya pajak yang seharusnya tidak terutang yang dapat dimintakan resstitusi adalah pemotongan atau pemungutan terhadap penghasilan yang sebenarnya bukan objek PPh. Penghasilan-penghasilan yang bukan objek PPh bisa dibaca di Pasal 4 ayat (3) Undang-undang PPh.

Pengajuan Permohonan

Permohonan pengembalian atau restitusi pajak seharusnya tidak terutang atas kesalahan pemotongan atau pemungutan PPh ini dilakukan oleh pihak yang dipotong atau dipungut tetapi melalui pemotong atau pemungutnya. Dalam hal pemotong atau pemungutnya tidak dapat ditemukan, misal karena sudah bubar, permohonan dilakukan langsung oleh pihak yang dipotong atau dipungut.

Persyaratan Permohonan

Permohonan yang diajukan harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :

  • Untuk pemotongan atau pemungutan yang bersifat tidak final, PPh yang dipotong atau dipungut tsb belum dikreditkan dalam SPT Tahunan. Mengapa tidak boleh? Ya karena kalau sudah dikreditkan, sama saja sudah dikembalikan.
  • Pajak yang seharusnya tidak terutang telah dilaporkan dalam SPT Masa (PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 ayat (2), atau PPh Pasal 15)
  • Tidak diajukan keberatan. Kesalahan pemotongan atau pemungutan sebenarnya bisa diajukan keberatan juga. Pengajuan keberatan juga pada hakikatnya sama dengan minta pengembalian. Jadi, jangan sampai dobel.
  • Diajukan secara tertulisa dengan format yang sudah ditentukan dalam PER-5/PJ/2011 dan diisi lengkap sesuai petunjuk pengisiannya.
  • Satu permohonan untuk satu kesalahan pemotongan atau pemungutan.
  • Permohonan harus dilampiri dengan asli bukti potong atau bukti pungut, penghitungan besarnya PPh yang seharusnya tidak terutang, lembar ke-1 SSP setoran masa pajak dilaporkannya pemotongan atau pemungutan, dan suarat kuasa dari pihak yang dipotong atau dipungut sesuai format yang ditentukan dalam PER-5/PJ/2011. Dalam hal, pemotong atau pemungut sudah bubar, maka permohonan hanya dilampiri asli bukti potong atau bukti pungut dan penghitungan besarnya PPh yang seharusnya tidak terutang.

Permohonan yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas menyebabkan permohonan tersebut tidak lengkap.

KPP Tempat Penyampaian Permohonan

Permohonan restitusi pajak yang seharusnya tidak terutang dasampaikan kepada KPP tempat pemotong atau pemungut terdaftar sebagai Wajib Pajak. Jika pemotong atau pemungut sudah tidak ada lagi, maka permohonan disampaikan kepada KPP tempat pihak yang dipotong atau dipungut terdaftar sebagai Wajib Pajak. Jika pihak yang dipotong atau dipungut belum berNPWP, permohonan disampaikan ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat domisili pihak yang dipotong atau dipungut tersebut.

Kepastian Hukum Penyelesaian Permohonan

Atas permohonan yang disampaikan oleh Wajib Pajak, Dirjen Pajak akan melakukan penelitian dan menerbitkan SKPLB paling lama 3 bulan sejak permohonan diterima lengkap. Bila dalam jangka aktu tersebut Dirjen Pajak tidak memberi keputusan, maka permohonan restitusi dianggap dikabulkan dan SKPLB harus diterbitkan paling lama 3 hari kerja sejak berakhirnya jangka waktu 3 bulan di atas.

Apabila pengembalian kelebihan pajak yang seharusnya tidak terutang tidak dapat diberikan, Dirjen Pajak harus memberitahukan secara tertulis disertai dengan alasan penolakan.

Selasa, 19 April 2011

NJOP Tidak Kena Pajak PBB Jadi Rp 24 Juta

Mulai 1 Januari 2012, Pemerintah menaikkan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sehingga menjadi maksimal sebesar Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). Ketentuan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.03/2011 tanggal 4 April 2011 tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Pajak Bumi dan Bangunan. Dalam ketentuan ini diatur bahwa: Dasar Pengenaan PBB adalah NJOP. Dalam menghitung besarnya PBB, besarnya NJOP akan dikurangkan terlebih dahulu dengan suatu batas Nilai Jual Objek Pajak yang tidak dikenakan pajak yang disebut sebagai NJOP Tidak Kena Pajak.

Laman