KOMIK KONTAN

Kamis, 30 Juni 2011

Tax Avoidance, Tax Planning, Tax Evasion, dan Anti Avoidance Rule

Tax Avoidance, Tax Planning, Tax Evasion, dan Anti Avoidance Rule

1. Pendahuluan

Meningkatnya perkembangan teknologi informasi dan semakin terbukanya perekonomian suatu negara tentu akan memberikan peluang bagi perusahaan untuk mengembangkan bisnis mereka dengan cara menciptakan berbagai inovasi produk barang maupun jasa. Sebagai perusahaan yang berorientasi laba sudah tentu suatu perusahaan akan berusaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya melalui berbagai macam efisiensi biaya, termasuk efiesiensi beban (biaya) pajak.

Terkait dengan perusahaan multinasional (PMA), dalam tahun 2005 saja, di Indonesia, realisasi investasi yang berasal dari PMA diperkirakan mencapai USD 8.68 miliar Jumlah tersebut meningkat dua kalinya dari tahun sebelumnya. Seiring dengan besarnya investasi asing yang masuk ke Indonesia, pendapatan pemerintah yang berasal pajak dari perusahaan multinasional seharusnya tinggi. Akan tetapi, kita pernah dikejutkan dengan pernyataan mantan Menteri Keuangan RI Jusuf Anwar pada akhir November 2005, yang menyatakan bahwa 750 PMA tidak pernah membayar pajak. Hal serupa juga pernah diungkapkan di tahun 2002 oleh pejabat pajak yang menangani perusahaan multinasional yang pernah mengindikasikan kemungkinan adanya praktik ilegal dari kalangan perusahaan PMA, antara lain melalui transfer pricing, sehingga 70% perusahaan PMA yang terdaftar sebagai Wajib Pajak laporan keuangannya terlihat merugi dan akhirnya tidak mempunyai kewajiban membayar pajak. Di balik pernyataan tersebut tentu kita bertanya, apakah perusahaan multinasional tersebut benar-benar rugi atau melakukan penghindaran pajak, sehingga tidak membayar pajak? Dan bagaimana pula peraturan perundang-undangan anti penghindaran pajak (anti avoidance) negara kita dalam menangkal skema penghindaran pajak tersebut?

2. Pengertian Tax Avoidance, Tax Planning, dan Tax Evasion

Sebagai perusahaan yang berorientasi laba, sudah tentu suatu perusahaan domestik maupun perusahaan multinasional berusaha meminimalkan beban pajak dengan cara memanfaatkan kelemahan sistem ketentuan pajak dari suatu negara. Di banyak negara, skema penghindaran pajak dapat dibedakan menjadi:

1. Penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance).

2. Penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax avoidance).

Antara suatu negara dengan negara lain bisa jadi saling berbeda pandangannya tentang skema apa saja yang dapat dikategorikan sebagai acceptable tax avoidance atau unacceptable tax avoidance. Dengan demikian, bisa saja suatu skema penghindaran pajak tertentu di suatu negara dikatakan sebagai penghindaran pajak yang tidak diperkenankan, tetapi di negara lain dikatakan sebagai penghindaran pajak yang diperkenankan. Istilah lain yang sering dipergunakan untuk menyatakan penghindaran pajak yang tidak diperkenankan adalah aggressive tax planning dan istilah untuk penghindaran pajak yang diperkenankan adalah defensive tax planning.

Dalam buku-buku perpajakan, istilah tax avoidance biasanya diartikan sebagai suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan suatu negara. Dengan demikian, banyak ahli pajak menyatakan skema tersebut sah-sah saja (legal) karena tidak melanggar ketentuan perpajakan. Lebih lanjut, The Asprey Comittee of Australia, seperti yang dikutip oleh Indrayagus Slamet menyatakan bahwa tax avoidance umumnya menyangkut perbuatan yang masih dalam koridor hukum tapi tidak berdasarkan ”bonafide dan adequate consideration”, atau berlawanan dengan maksud dari pembuat undang-undang (the intention of parliament).

Lantas apa yang dimaksud dengan tax planning itu sendiri? Tax planning adalah upaya Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yang terutang melalui skema yang memang telah jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan dan sifatnya tidak menimbulkan dispute antara Wajib Pajak dan otoritas pajak. Sedangkan tax evasion diartikan sebagai suatu skema memperkecil pajak yang terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal) seperti dengan cara tidak melaporkan sebagian penjualan atau memperbesar biaya dengan cara fiktif.

Berkaitan dengan tax avoidance, pertanyaan yang layak kita ajukan adalah apakah suatu skema transaksi yang tujuannya semata-mata untuk penghindaran pajak (tidak ada tujuan bisnisnya) dengan cara memanfaatkan kelemahan ketentuan perpajakan yang ada dapat dibenarkan?

Dalam konteks perpajakan internasional, ada berbagai skema yang biasa dilakukan oleh PMA untuk melakukan penghematan pajak yaitu dengan skema seperti (i) transfer pricing, (ii) thin capitalization, (iii) treaty shopping, dan (iv) controlled foreign corporation (CFC). Pada umumnya dalam melakukan penghematan pajak tersebut, Wajib Pajak dapat menjalankan dalam bentuk:

1. Substantive tax planning, yang terdiri atas:

a. Memindahkan subjek pajak (transfer of tax subject) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.

b. Memindahkan objek pajak (transfer of tax subject) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.

c. Memindahkan subjek pajak dan objek pajak (transfer of tax subject and of tax object) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.

2. Formal tax planning

Melakukan penghindaran pajak dengan cara tetap mempertahankan substansi ekonomi dari suatu transaksi dengan cara memilih berbagai bentuk formal jenis transaksi yang memberikan beban pajak yang paling rendah.


3. Ketentuan tentang Anti Avoidance

Dalam menghadapi skema-skema unacceptable tax avoidance atau aggressive tax planning seperti tersebut di atas, umumnya suatu negara menerbitkan ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan sebagai berikut ini:

1. Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak atas transaksi seperti (i) transfer pricing, (ii) thin capitalization, (iii) treaty shopping, dan (iv) controlled foreign corporation (CFC).

2. General Anti Avoidance Rule (GAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak untuk mencegah transaksi yang semata-mata dilakukan oleh Wajib Pajak yang semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak atau transaksi yang tidak mempunyai substansi bisnis.


Di banyak negara, seperti di Israel dan Kanada, telah membuat suatu ketentuan untuk menangkal praktik unacceptable tax avoidance atau aggressive tax planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Hal ini disebabkan karena tax planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak tidak lagi bersifat defensive tax planning lagi tetapi sudah semakin offensive yaitu dengan membuat suatu transaksi semu yang pada dasarnya tidak ada tujuan bisnisnya atau membuat suatu entitas usaha di negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven country. Di Australia, skema-skema yang dapat dikategorikan sebagai aggressive tax planning oleh Australian Taxation Office (ATO) adalah sebagai berikut:

1. Transaksi yang dibuat semata-mata untuk tujuan menghindari pajak. Dengan kata lain transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan bisnis, kalaupun ada tujuan bisnisnya tetapi sangat tidak signifikan.

2. Berusaha untuk mendapatkan fasiltas pajak yang sebenarnya fasilitas pajak tersebut tidak ditujukan kepadanya.

3. Membuat transaksi yang berputar-putar yang akhirnya transaksi tersebut akan kembali lagi kepadanya (round-robin flow of funds).

4. Penggelelembungan nilai aset untuk mendapatkan biaya penyusutan yang besar di masa yang akan datang.

5. Memanfaatkan suatu entitas usaha di mana penghasilan yang diterima oleh entitas usaha tersebut dikecualikan sebagai objek pajak.

6. Transaksi bisnis yang melibatkan negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven countries.


4. Bagaimana dengan Indonesia?

Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan kita yang berlaku saat ini, belum ada definisi yang jelas mengenai tax plannning, agresive tax planning, acceptable tax avoidance dan unacceptable tax avoidance. Dengan demikian, dalam praktiknya sering menimbulkan penafsiran yang berbeda antara Wajib Pajak dan aparat pajak. Wajib Pajak dan aparat pajak tentu akan memberikan penafsiran sendiri-sendiri yang menguntungkan mereka, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

Dari sudut pandang Wajib Pajak, tentu akan berpendapat bahwa sepanjang skema penghindaran pajak yang mereka lakukan tidak dilarang dalam peraturan perundang-undangan perpajakan tentu sah-sah saja (legal). Hal ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah tentu juga berkepentingan bahwa jangan sampai suatu ketentuan perpajakan disalahgunakan oleh Wajib Pajak untuk semata-mata tujuan penghindaran pajak yang akan merugikan penerimaan negara. Oleh karena itu, untuk kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun bagi pemerintah, ketentuan tentang tax planning, tax avoidance, dan anti tax avoidance yang berupa Specific Anti Avoidance Rule (SAAR) maupun General Anti Avoidance Rule (GAAR) harus diatur secara jelas dan rinci dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, baik untuk ketentuan formalnya yaitu terkait dengan sanksi, maupun dalam ketentuan materialnya.

Selasa, 28 Juni 2011

TRANSFER PRICING DALAM PRAKTEK PERPAJAKAN INTERNASIONAL

TRANSFER PRICING DALAM PRAKTEK PERPAJAKAN INTERNASIONAL


1. Definisi Transfer Pricing

Bagi organisasi yang terdesentralisasi, keluaran dari sebuah divisi dipakai sebagai masukan bagi divisi lain. Transaksi antar divisi ini mengakibatkan timbulnya suatu mekanisme transfer pricing. Transfer pricing didefenisikan sebagai suatu harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan biaya divisi pembeli (buying divison). (Henry Simamora, 1999:272). Transfer pricing sering juga disebut dengan intracompany pricing, intercorporate pricing, interdivisional atau internal pricing yang merupakan harga yang diperhitungkan untuk keperluan pengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa antar anggota (grup perusahaan). Transfer pricing biasanya ditetapkan untuk produk-produk antara (intermediate product) yang merupakan barang-barang dan jasa-jasa yang dipasok okeh divisi penjual kepada divisi pembeli. Bila dicermati secara lebih lanjut, transfer pricing dapat menyimpang secara signifikan dari harga yang disepakati. Oleh karena itu transfer pricing juga sering dikaitkan dengan suatu rekayasa harga secara sistematis yang ditujukan untuk mengurangi laba yang nantinya akan mengurangi jumlah pajak atau bea dari suatu negara.

Dari uraian di atas nampak bahwa pada prinsipnya praktik transfer pricing (dengan harga yang tidak sama dengan harga pasar) dapat didorong oleh alasan pajak (tax motive) maupun bukan pajak (non-tax motive). Berbagai studi di luar Indonesia menunjukkan hal tersebut (Carson;1979, Vaitson;1974, dalam Caves;1996). Motivasi pajak atas praktik transfer pricing dilaksanakan dengan sedapat mungkin memindahkan penghasilan ke negara dengan beban pajak terendah atau minimal. Salah satu bentuk pengalihan penghasilan, misalnya dalam bentuk pembayaran royalti karena dengan sangat langkanya standar harga (tarif) pasar atas royalti sangat sulit bagi administrasi pajak untuk mengatasinya. Kopits (dalam Caves;1996) menyatakan bahwa paling kurang 13% pembayaran royalti dari negara bcrkcmhang (ke negara maju) merupakan transformasi royalti menjadi dividen. Selanjutnya, sehubungan dengan harga barang (bahan) input produksi, Lecras (dalam Caves;1996) menyatakan bahwa berdasarkan studi tahun 1985 perusahaan multinasional yang beroperasi di ASEAN memakai dasar selain harga pasar dalam menghitung transfer pricenya. Semakin mudah tingkat otonomi anggota perusahaan multinasional di mancanegara semakin tinggi pemanfaatan strategi transfer pricing. Semakin kurang menentu-nya lingkungan tempat operasi anggota perusahaan tersebut, semakin besar porsi penjualan ekspor ketimbang penjualan domestik dan semakin tinggi potensi penghasilan, maka motivasi pajak terhadap transfer pricing semakin ekstensif.

Masalah transfer pricing ini juga tidak terlepas dari fenomena bisnis perusahaan besar yang multi unit yang akan melakukan ekspansi usaha ke luar negeri dengan mengoprasikan usahanya secara desentralisasi dan mengimplementasikan konsep cpst-reveneu atau konsep corporate profit center. Idealnya, konsep desentralisasi profit center tersebut merupakan pula alat yang dapat mengukur dan menilai kinerja yang juga salah satu tujuan manajemen serta motivasi pengelolaan unit-unit perusahaan multinasional yang bersangkutan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. Di samping itu, masalah ketat/tidaknya pengawasan aparat pemerintah yang terkait serta kebutuhan informasi, merupakan hal vang akan mendorong; pelaksanaan transfer pricing, sehingga secara keselturuhan beberapa faktor pendorong pemicu munculnya masalah transfer pricing tersebut adalah:

1) Pergeseran menuju desenhralisasi, divisionalisasi, dan penggunaan konsep cnrpu­ ratc profit center

2) Pemanfaatan transfer pricing dalam bisnis dan invesatsi internasional.

3) Pengawasan transfer pricing oleh aparat perpajakan dan bea cukai di beberapa negara.

4) Keperluan pengungkapan segmentasi informasi dan transaksi antar-unit dalam group perusahaan.

2. Tujuan Transfer Pricing

Secara umum, tujuan penetapan harga transfer adalah untuk mentransmisikan data keuangan di antara departemen-departemen atau divisi-diisi perusahaan pada waktu mereka saling menggunakan barang dan jasa satu sama lain (Henry Simamora, 1999:273) Selain tujuan tersebut, transfer pricing terkadang digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan divisi pembeli menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan. A transfer pricing system should satisfy three objectives: acurate performance evaluation, goal congruence, and preservation of divisional autonomy (Joshua Ronen and George McKinney, 1970:100-101).

Sedangkan dalam lingkup perusahaan multinasional, transfer pricing digunakan untuk, meminimalkan pajak dan bea yang mereka keluarkan diseluruh dunia Transfer pricing can effect overall corporate incame taxes. This is particulary true for multinational corporations (Hansen and Mowen, 1996:496).

3. Tipe dan Metode Transfer Pricing

Beberapa metode transfer pricing yang sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan Multinasional dan divisionalisasi/departementasi dalam melakukan aktifitas keuangannya adalah:

1. Harga Transfer Dasar Biaya (Cost-Based Transfer Pricing)

Perusahaan yang menggunakan metode transfer atas dasar biaya menetapkan harga transfer atas biaya variabel dan tetap yang bisa dalam 3 pemelihan bentuk yaitu : biaya penuh (full cost), biaya penuh ditambah mark-up (full cost plus markup) dan gabungan antara biaya variabel dan tetap (variable cost plus fixed fee).

2. Harga Transfer atas Dasar Harga Pasar (Market Basis Transfer Pricing)

Apabila ada suatu pasar yang sempurna, metode transfer pricing atas dasar harga pasar inilah merupakan ukuran yang paling memadai karena sifatnya yang independen. Namun keterbatasan informasi pasar yang terkadang menjadi kendala dalam mengunakan transfer pricing yang berdasarkan harga pasar.

3. Harga Transfer Negosiasi (Negotiated Transfer Prices)

Dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan divisi-divisi dalam perusahaan yang berkepentingan dengan transfer pricing untuk menegosiasikan harga transfer yang diinginkan. Harga transfer negosiasian mencerminkan prespektif kontrolabilitas yang inheren dalam pusat-pusat pertanggungjawaban karena setiap divisi yang berkepentingan tersebut pada akhirnya yang akan bertanggung jawab atas harga transfer yang dinegosiasikan.

4. Transfer Pricing pada Perusahaan Multinasional

Menurut Zain (2003:297-298), kebijakan transfer pricing multinasional bertujuan:

1) Memaksimalkan penghasilan global

2) Mengamankan posisi kompetitif anak/cabang perusahaan dan penetrasi pasar

3) Evaluasi kenerja anak/cabang perusahaan manca negera

4) Penghidaran pengendalian devisa

5) Mengontrol kredibilitas asosiasi

6) Meningkatkan bagian laba joint ventura

7) Reduksi resiko moniter

8) Mengamankan cash flow anak/cabang di luar negeri

Berikut ini akan diberikan sebuah ilustrasi untuk memperjelas praktek transferpricing yang biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Perusahaan induk (parent company) yang terletak di Belgia memproduksi suatu produk, dengan harga pokok Rp 100. Tarif pajak yang berlaku di negara tersebut adalah 42%. Untuk menghindari pengenaan pajak dengan tarif yang tinggi, perusahaan induk memutuskan untuk menjual produk tersebut ke anak perusahaan yang ada di Puerto Rico dengan harga transfer yang sama dengan harga pokok yaitu Rp 100, sehingga pajak yang terutang atas transaksi penjualan antara perusahaan induk dan anak perusahaan adalah Rp 0.

Hal ini disebabkan karena harga transfer yang digunakan sama dengan harga pokok produk, sehingga atas transaksi ini tidak menimbulkan laba yang akan dikenakan pajak. Rekayasa atas harga transfer ini dibuat untuk menghindari pajak dengan tarif yang tinggi yang berlaku di negara tempat perusahaan induk berada. Kemudian barang yang sudah dibeli, dijual oleh anak perusahaan di Puerto Rico ke anak perusahaan lain yang ada di Amerika dengan harga transfer Rp 200. Tarif pajak yang berlaku di negara Puerto Rico adalah 0%. Transaksi penjualan ini menimbulkan laba sebesar Rp 200. Atas laba yang timbul, seharusnya terutang pajak. Tetapi karena tarif pajak yang berlaku di negara tersebut 0%, maka pajak yang terutang atas laba yang dihasilkan adalah sebesar Rp 0. Kemudian barang yang sudah dibeli oleh anak perusahaan yang ada di Amerika dijual kembali ke perusahaan yang tidak mempunyai hubungan istimewa di negara yang sama, dengan harga jual Rp 200. Kebijaksanaan menetapkan harga jual ini dimaksudkan untuk menghindari pajak dengan tarif yang tinggi yang berlaku di negara yang bersangkutan. Asumsi tarif pajak yang berlaku di negara Amerika 35%. Selanjutnya dapat dihitung bahwa pajak terutang atas transaksi penjualan ini adalah sebesar Rp 0.

Hal ini disebabkan karena harga jual atas produk tersebut sama dengan harga pokok pembelian barang, sehingga laba yang timbul atas transaksi ini adalah Rp 0. Kesimpulan yang dapat ditarik dari transaksi-transaksi di atas, adalah betapa pentingnya mengetahui tarif pajak yang berlaku di suatu negara, sebelum mengambil keputusan untuk melakukan transaksi penjualan dan pembelian barang. Tabel di bawah ini akan memperjelas ilustrasi di atas.

Tabel : Praktik Transfer Pricing pada Perusahaan Multinasional


Perusahaan Induk di Belgia

Anak Perusahaan di Puerto Rico

Anak Perusahaan di Amerika

Penjualan

Harga Pokok Penjualan

Laba

Tarif Pajak

Pajak Terutang

$ 100

$ 100

$ 0

42%

$ 0

$ 200

$ 100

$ 100

0%

$ 0

$ 200

$ 200

$ 0

0%

$ 0

Masalah transfer pricing ini perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut dari Pemerintah setempat, karena terkadang anak perusahaan yang didirikan dalam suatu negara, hanya bersifat sebagai transit place atau tempat persingahan semata. Suatu survey yang dilakukan oleh Ernst & Young LLp, 1999 menemukan bahwa masalah transfer pricing merupakan masalah utama dalam bidang perpajakan selama kurun waktu 2 tahun terakhir yang terjadi pada perusahaan-perusahaan multinasional di seluruh dunia. Oleh karena itu banyak kantor akuntan publik melakukan auditcompliance, untuk melakukan pemeriksaan atas masalah transfer pricing ini yang memang berpengaruh terhadap jumlah pajak yang harus dibayarkan. Gambar berikut ini akan memperlihatkan persentase dilakukannya audit compliance pada perusahaanperusahaan multinasional yang tersebar di berbagai negara besar di dunia.

Biasanya cegah tangkal yang dilakukan oleh negara-negara dengan adanya transfer pricing adalah membuat suatu kewenangan, dimana pemerintah diberikan wewenang untuk menentukan kembali dengan cara me-realokasikan kembali jumlah laba dan biaya-biaya yang timbul di perusahaan multinasional yang notabene punya beberapa divisi, sehingga laba dan biaya-biaya yang timbul sebagai hasil transaksi antar divisi tersebut yang ditengarai sebagai suatu praktek transfer pricing yang bisa meminimalkan pajak terutang dapat di cegah. U.S.- Based multinationals are subject to Internal Revenue Code Section 482 on the pricing of intercompany transactions. This section gives the IRS the authority to reaalocate income and deductions among divisions if it believes that such reallocation will reduce potentiak tax evasion. (Hansen and Mowen, 1996:543). Lebih lanjut ditegaskan bahwa dalam IRS, apabila terjadi transaksi antar divisi dalam perusahaan multinasional atau terjadi transaksi dalam perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa, maka harga yang berlaku adalah harga yang timbul apabila transaksi tersebut dilakukan dengan pihak-pihak di luar perusahaan atau dengan kata lain, transaksi dilakukan dengan pihak-pihak yang tidak punya hubungan istimewa. That is, the transfer pricing set should match the price that would be set if the transfer were being made by unrelated parties, adjusted for diffrences that have a measurable effect on the price. (Hansen and Mowen, 1996:543).

Controlled Foreign Company (CFC)

Controlled Foreign Company (CFC)


Controlled Foreign Company (CFC) adalah perusahaan terkendali yang dimiliki oleh Wajib Pajak dalam negeri yang berada di negara-negara yang mengenakan pajak rendah atau tidak mengenakan pajak sama sekali (tax haven country) yang dibentuk dengan maksud untuk menunda pengakuan penghasilan dalam rangka penghindaran pajak (tax avoidance).

Penghindaran pajak oleh Wajib Pajak dalam negeri ini dilakukan dengan mengalihkan penghasilan dari luar negeri ke perusahaan CFC yang sengaja dibentuk di negara tax haven country. Agar tidak dikenakan pajak, laba dari perusahaan CFC ini tidak dibagikan kepada pemegang sahamnya, yaitu Wajib Pajak dalam negeri. Dengan kata lain, Wajib Pajak dalam negeri ini tidak meminta haknya atas laba yang diperoleh CFC.

Untuk mengantisipasi penghindaran pajak jenis ini, Undang-undang Pajak Penghasilan telah memuat ketentuan dalam Pasal 18 ayat (2). Ketentuan ini sebagaimana, ketentuan lain dalam Pasal 18, adalah ketentuan anti penghindaran pajak (anti avoidance rule). Selengkapnya bunyi dari Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut :

Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:

* besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
* secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.

Nah, berdasarka ketentuan di atas, apabila ada Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki CFC, maka Menteri Keuangan dapat menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri tersebut sehingga tidak ada celah untuk menunda pengakuan laba agar tidak dikenakan pajak di Indonesia.

Sebagai peraturan pelaksanaan dari Pasal 18 Ayat (2) UU PPh ini, Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha Di Luar Negeri Selain Badan Usaha Yang Menjual Sahamnya Di Bursa Efek.

Peraturan Menteri Keuangan ini mencabut ketentuan sebelumnya yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor 650/KMK.04/1994 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha Di Luar Negeri Yang Sahamnya Tidak Diperdagangkan Di Bursa Efek.

Kriteria Badan Usaha Luar Negeri

Tidak ada pasal khusus yang mengatur tentang kriteria atau definisi dari badan usaha luar negeri atau CFC dalam Peraturan Menkeu Nomor 256/PMK.03/2008. Namun demikian, Pasal 1 memberikan petunjuk tentang hal ini di mana terdapat frasa “penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek”

Dengan demikian, kriteria CFC ini hanyalah badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek. Artinya batas antara badan usaha luar negei yang merupakan CFC dan bukan hanya terletak pada apakah badan usaha tersebut menjual sahamnya di bursa efek atau tidak. Dengan ketentuan ini maka bisa saja sebenarnya Wajib Pajak dalam negeri yang tidak bermaksud untuk menghindari pajak dengan memiliki perusahaan di luar negeri dan tidak membagikan dividen dengan tujuan lain, dapat terkena dampak ketentuan ini sehingga dianggap mendapatkan dividen dari investasinya tersebut.

Hal yang berbeda diatur dalam ketentuan sebelumnya yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor 650/KMK.04/1994. Dalam ketentuan ini diatur bahwa Badan usaha di luar negeri adalah badan usaha yang bertempat kedudukan di negara atau tempat seperti tersebut dalam lampiran Keputusan ini. Perhatikan bahwa tambahan kriteria CFC dalam ketentuan ini adalah badan usaha yang berkedudukan atau bertempat di negara-negara yang sudah ditentukan.

Kriteria Wajib Pajak Dalam Negeri

Kriteria Wajib Pajak dalam negeri yang dianggap memperoleh dividen dari badan usaha di luar negeri adalah Wajib Pajak dalam negeri yang :

* memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri; atau
* secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri.

Ketentuan tentang hal di atas diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008.

Saat Diperolehnya Dividen

Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008, saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek adalah:

* pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan badan usaha di luar negeri tersebut untuk tahun pajak yang bersangkutan; atau
* pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir apabila badan usaha di luar negeri tersebut tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan.

Besarnya Dividen

Besarnya dividen yang wajib dihitung sebagai penghasilan dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri memenuhi syarat dan memiliki penyertaan pada badan usaha di luar negeri yang memenuhi syarat adalah sebesar jumlah dividen yang menjadi haknya terhadap laba setelah pajak yang sebanding dengan penyertaannya pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek.

Misal laba setelah pajak pada badan usaha di luar negeri adalah $1.000.000 dan besarnya penyertaan yang dimiliki oleh Wajib Pajak dalam negeri adalah 50%, maka Wajib Pajak dalam negeri dianggap memperoleh dividen sebesar 50% x $1.000.000 sama dengan $500.000.

Laman