KOMIK KONTAN

Selasa, 10 Mei 2011

Metode Penentuan Harga Transfer (Transfer Pricing)

Metode Penentuan Harga Transfer (Transfer Pricing)

Dalam menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha terkait dengan transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa, maka setelah dilakukan analisis kesebandingan, Wajib Pajak harus mementukan metode penentuan harga transfer yang tepat. Penentuan metode transfer pricing ini wajib didukung dengan kajian mendalam serta kajian tersebut wajib didokumentasikan.

Jenis-jenis Metode Transfer Pricing

Terdapat beberapa jenis metode penentuan harga transfer yang dapat dilakukan, yaitu :

  1. metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price/CUP);
  2. metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode biaya-plus (cost plus method/CPM);
  3. metode pembagian laba (profit split method/PSM) atau metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM).

Penerapan metode-metode di atas tidak bebas dilakukan tetapi harus dilakukan secara hirarkis. Pertama dimulai dengan menerapkan metode perbandingan harga antar pihak yang independen (CUP) sesuai dengan kondisi yang tepat. Jika metode perbandingan harga antar pihak yang independen (CUP) tidak tepat untuk diterapkan, wajib diterapkan metode penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode biaya-plus (cost plus method/CPM) sesuai dengan kondisi yang tepat.

Dalam hal metode penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode biaya-plus (cost plus method/CPM) tidak tepat untuk diterapkan, dapat diterapkan metode pembagian laba (profit split method/PSM) atau metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM).

Metode Perbandingan Harga Antar Pihak Yang Independen (CUP)

Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price) atau disingkat metode CUP adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi atau keadaan yang sebanding.

Contoh penggunaan metode CUP ini misalnya PT. A memiliki 25% saham PT. B. Atas penyerahan barang PT. A ke PT. B, PT. A membebankan harga jual Rp. 1.600,- per unit, berbeda dengan harga yang diperhitungkan atas penyerahan barang yang sama kepada PT. X (tidak ada hubungan istimewa) yaitu Rp. 2.000,- per unit.

Pada contoh tersebut harga pasar sebanding (comparable uncontrolled price) atas barang yang sama adalah yang dijual kepada PT. X yang tidak ada hubungan istimewa. Dengan demikian harga yang wajar adalah Rp. 2.000,- per unit. Harga ini dipakai sebagai dasar perhitungan penghasilan dan/atau pengenaan pajak.

Kondisi yang tepat untuk menggunakan metode CUP ini adalah :

  1. barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang identik dalam kondisi yang sebanding; atau
  2. kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak memiliki Hubungan Istimewa identik atau memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi atau dapat dilakukan penyesuaian yang akurat untuk menghilangkan pengaruh dari perbedaan kondisi yang timbul.

Apabila tak ada kondisi di atas yang sesuai, maka metode CUP tidak dapat digunakan dan Wajib Pajak harus menggunakan metode lainnya yang sesuai.

Metode Penjualan Kembali (RPM)

Metode harga penjualan kembali (resale price method) atau disingkat metode RPM adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam kondisi wajar.

Misalkan PT. A memiliki 25% saham PT. B. Atas penyerahan barang ke PT. B, PT. A membebankan harga jual Rp. 1.600,- per unit. PT. A tidak melakukan penjualan kepada pihak ketiga yang tidak ada hubungan istimewa. PT. B menjual kembali barang yang dibeli dari PT. A ke pihak yang tidak ada hubungan istimewa dengan harga Rp. 2.500,- per unit. Laba kotor sebanding untuk penjualan barang tersebut adalah 20% dari harga jualnya.

Dalam menguji kewajaran harga penjualan dari PT. A ke PT. B, dapat diterapkan metode RPM. Dengan menerapkan metode tersebut maka harga penjualan barang PT. A ke PT. B yang wajar untuk perhitungan pajak penghasilan/dasar pengenaan pajak adalah Rp. 2.000,- {Rp. 2.500,- – (20% x Rp. 2.500,-)}.

Kondisi yang tepat untuk menggunakan metode ini adalah :

  1. tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi antara Wajib Pajak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antara Wajib Pajak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, khususnya tingkat kesebandingan berdasarkan hasil analisis fungsi, meskipun barang atau jasa yang diperjualbelikan berbeda; dan
  2. pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai tambah yang signifikan atas barang atau jasa yang diperjualbelikan.

Metode Biaya Plus (CPM)

Metode biaya-plus (cost plus method) atau metode CPM adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa pada harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.

Contoh misalnya PT. A memiliki 25% saham PT. B. Atas penyerahan barang ke PT. B, PT. A membebankan harga jual Rp. 1.600,- per unit. PT. A tidak melakukan penjualan kepada pihak ketiga yang tidak ada hubungan istimewa.

Dalam contoh di atas, maka harga yang wajar adalah harga pasar atas barang yang sama (dengan barang yang diserahkan PT. A) yang terjadi antar pihak-pihak yang tidak ada hubungan istimewa. Apabila ditemui kesulitan untuk mendapatkan harga pasar sebanding untuk barang yang sama (terutama karena PT. A tidak menjual kepada pihak yang tidak ada hubungan istimewa), maka dapat ditanggulangi dengan menerapkan harga pasar wajar dari barang yang sejenis atau serupa, yang terjadi antar pihak-pihak yang tidak ada hubungan istimewa.

Dalam hal terdapat kesulitan untuk mendapatkan harga pasar sebanding untuk barang yang sejenis atau serupa, karena barang tersebut mempunyai spesifikasi khusus, misalnya semi finished products, maka pendekatan harga pokok plus (cost plus method) dapat digunakan untuk menentukan kewajaran harga penjualan PT. A.

Misalnya diketahui bahwa PT. A memperoleh bahan baku dan bahan pembantu produksinya dari para pemasok yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Harga pokok barang yang diproduksi per unit adalah Rp. 1.500,- dan laba kotor yang pada umumnya diperoleh dari penjualan barang yang sama antar pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa (comparable mark up) adalah 40% dari harga pokok.

Dengan menerapkan metode harga pokok plus maka harga jual yang wajar atas barang tersebut dari PT. A kepada PT. B untuk tujuan penghitungan penghasilan kena pajak/dasar pengenaan pajak adalah Rp. 2.100 {Rp. 1.500 + (40% x Rp. 1.500)}.

Kondisi yang tepat apabila akan menggunakan metode CPM ini adalah

  1. barang setengah jadi dijual kepada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa;
  2. terdapat kontrak/perjanjian penggunaan fasilitas bersama (joint facility agreement) atau kontrak jual-beli jangka panjang (long term buy and supply agreement) antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; atau
  3. bentuk transaksi adalah penyediaan jasa.

Metode Pembagian Laba (PSM)

Metode pembagian laba (profit split method) atau metode PSM adalah metode Penentuan Harga Transfer berbasis laba transaksional (transactional profit method) yang dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.

Metode PSM hanya dapat digunakan dalam kondisi sebagai berikut :

  1. transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sangat terkait satu sama lain sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan kajian secara terpisah; atau
  2. terdapat barang tidak berwujud yang unik antara pihak-pihak yang bertransaksi yang menyebabkan kesulitan dalam menemukan data pembanding yang tepat.

Metode Laba Bersih Transaksional (TNMM)

Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method) atau disingkat TNMM adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan persentase laba bersih operasi terhadap biaya, terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa lainnya.

Metode TNMM ini digunakan jika tidak ada kondisi yang cocok yang dapat diterapkan untuk menggunakan metode CUP, RPM, CPM dan PSM. Dengan kata lain, metode ini adalah metode terakhir yang bisa digunakan jika metode yang lainnya tidak dapat digunakan.

Sumber : PER-43/PJ/2010 dan SE-04/PJ.7/1993

Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha

Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha

Istilah kewajaran dan kelaziman usaha yang merupakan padanan istilah arm’s length principle (ALP), berkaitan erat dengan pemahaman kita atas transfer pricing (penentuan harga transfer), related party (hubungan istimewa), dan penghindaran pajak (tax avoidance). Semua istilah ini bisa kita temukan dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan yang merupakan salah satu Pasal anti penghindaran pajak (anti tax avoidance rule).

Ketentuan tersebut menegaskan bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya-plus (cost-plus method) atau metode lainnya.

Sesuai dengan penjelasannya, maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, terdapat kemungkinan Wajib Pajak mengatur harga transaksi agar memperkecil penghasilan kena pajak. Untuk itu, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa.

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang PPh ini, Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

Pengertian

PER-43/PJ/2010 memberikan pengertian Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm’s length principle/ALP) sebagai prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding

Dari pengertiam tersebut kita bisa memahami bahwa penerapan ALP dilakukan terhadap transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa (related party). Dengan kata lain, apabila transaksi dilakukan dengan pihak yang tidak memiliki hubunggan istimewa, ALP tidak perlu dilakukan sebagaimana transaksi independen. Nah, pengertian dan definisi hubungan istimewa sendiri diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan dan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang PPN 1984. Berdasarkan Pasal 18 ayat (4) Undang-undang PPh, hubungan istimewa dianggap ada jika :

  1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau
  2. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
  3. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

Adapun jenis transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa yang dapat mengakibatkan pelaporan penghasilan dan pengurangan yang tidak sesuai dengan prinsip ALP antara lain :

  1. penjualan, pengalihan, pembelian atau perolehan barang berwujud maupun barang tidak berwujud;
  2. sewa, royalti, atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan atau pemanfaatan harta berwujud maupun harta tidak berwujud;
  3. penghasilan atau pengeluaran sehubungan dengan penyerahan atau pemanfaatan jasa;
  4. alokasi biaya; dan
  5. penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan, dan penghasilan atau pengeluaran yang timbul akibat penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan dimaksud.

Kewajiban Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha

Wajib Pajak yang melakukan transaksi-transaksi di atas dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa wajib untuk menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

  1. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
  2. menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
  3. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; dan
  4. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Namun demikian, atas transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai nilai penghasilan atau pengeluaran tidak melampaui Rp 10 .000.000,00 (sepuluh juta rupiah) tidak diwajibkan memenuhi kewajiban melakukan langkah-langkah tersebut di atas, namun Wajib Pajak tetap diwajibkan memenuhi ketentuan Pasal 28 Undang-Undang KUP.

Yang dimaksud dengan Analisis Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.

Penentuan Harga Transfer (transfer pricing) adalah penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. Wajib Pajak harus menentukan metode penentuan harga transfer yang tepat atas transaksi yang dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Terdapat beberapa metode harga transfer yang diatur dalam PER-43/PJ/2010 ini, yaitu :

  1. Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price/CUP), yaitu metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi atau keadaan yang sebanding
  2. Metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam kondisi wajar
  3. Metode biaya-plus (cost plus method/CPM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa pada harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
  4. Metode pembagian laba (profit split method/PSM) adalah metode Penentuan Harga Transfer berbasis laba transaksional (transactional profit method) yang dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
  5. Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan persentase laba bersih operasi terhadap biaya, terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa lainnya.

Demikian gambaran singkat tentang penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang harus diterapkan dalam transaksi yang dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Tulisan berikutnya saya akan coba mendetailkan setiap langkap penerapan prinsip ini sesuai dengan PER-43/PJ/2010.

Jumat, 06 Mei 2011

Pemahaman Dasar Tentang Bentuk Usaha Tetap (A permanent Establishment)

Pemahaman Dasar Tentang Bentuk Usaha Tetap (A permanent Establishment)

Abstraksi

Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah subyek pajak luar negeri yang kewajiban perpajakannya diperlakukan relatif sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya. Perbedaan perlakuan perpajakannya dibandingkan dengan wajib pajak dalam negeri antara lain adalah (i) BUT tidak dapat menikmati tax treaty Indonesia dengan negara treaty partner lainnya karena ia bukan penduduk Indonesia, dan (ii) atas laba bersih setelah pajak yang diterima atau diperoleh suatu BUT dikenakan branch profit tax. Untuk menghindari pengenaan pajak berganda atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh penduduk dari negara treaty partner di Indonesia, pengujian keberadaan suatu BUT perusahaan dari negara treaty partner tersebut di Indonesia sebagai kriteria diperlukan untuk menentukan apakah Indonesia memiliki hak untuk memajaki penghasilan tersebut.


Tujuan paper ini adalah untuk membahas dan sekaligus memberikan pemahaman yang mendasar tentang BUT sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan dan tax treaty.

1. PENDAHULUAN

Sedikitnya ada 2 (dua) perubahan besar yang diakibatkan oleh globalisasi. Yang pertama adalah bahwa era globalisasi yang diwarnai dengan tumbuhnya kawasan bebas perdagangan, jasa dan modal (misal: NAFTA, European Community, dan terakhir AFTA), transaksi internasional telah bertumbuh dengan pesatnya baik dari sisi frekuensi maupun volumenya. Dan yang kedua adalah masuknya investasi asing ke suatu negara dalam bentuk portfolio investment dan foreign direct investment mengakibatkan implikasi yang luas baik dari sisi sosial, ekonomi, hukum dan keamanan terhadap negara pengimpor modal (importing capital countries) misalnya Indonesia.

Dalam melakukan investasi langsung di Indonesia, investor asing dapat melakukannya dalam bentuk joint venture dengan perusahaan asing lainnya dan perusahaan lokal. Umumnya, perusahaan ini berbentuk penanaman modal asing dan berbadan hukum Indonesia sehingga perusahaan penanaman modal asing adalah wajib pajak dalam negeri (resident taxpayer).

Selain itu, perusahaan asing dapat menjalankan usahanya melalui bentuk usaha di Indonesia. Ini yang disebut dengan Bentuk Usaha Tetap (selanjutnya disingkat BUT). Apabila investor asing menjalankan bisnisnya di Indonesia melalui BUT ( a permanent establishment) berarti bahwa perusahaan tersebut tidak berbadan hukum Indonesia sehingga BUT adalah bukan wajib pajak dalam negeri.

Tujuan penulisan paper ini adalah membahas perlakuan Pajak Penghasilan (income tax treatments) suatu BUT perusahaan asing di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan dan tax treaty. Sehingga diharapkan para pembaca memiliki pemahaman tentang BUT.

2. Pengertian Bentuk Usaha Tetap

Sesuai Pasal 2 ayat 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor: 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut Undang-Undang PPh), BUT diartikan sebagai bentuk usaha yang dipergunakan oleh subyek pajak luar negeri (non resident taxpayer) baik orang pribadi (nature person) atau badan (legal person) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Sesuai OECD Model, yang dimaksud BUT adalah: a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on. Artinya bahwa BUT adalah suatu tempat usaha tetap yang digunakan perusahaan untuk menjalankan seluruh atau sebagian besar usahanya. Pengertian tersebut mengandung beberapa karakteristik yang mewarnai suatu BUT perusahaan asing di Indonesia yaitu: (i) adanya tempat usaha berupa prasarana, (ii) tempat usaha ini harus bersifat tetap, (iii) kegiatan usaha perusahaan dilakukan melalui tempat usaha tersebut, dan (iv) sifatnya harus produktif, dimana BUT tersebut harus ikut andil dalam memberikan laba usaha bagi perusahaannya (kantor pusatnya).

Dalam rangka penghindaran pajak berganda, keberadaan suatu BUT sangat diperlukan sebagai kriteria untuk menentukan apakah Indonesia sebagai negara sumber memiliki hak untuk memajaki penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh penduduk dari negara treaty partner. Namun kriteria tersebut tidak berlaku apabila penerima penghasilan (beneficial owner) berasal dari negara non treaty partner.

Sesuai Tax Treaty Model OECD, pengecualian timbulnya BUT yaitu sebagai berikut:

  • apabila perusahaan dari suatu negara treaty partner menjalankan kegiatan-kegiatan yang terbatas di Indonesia yang cakupan kegiatan-kegiatannya adalah sebagai berikut :
    1. penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dimaksudkan untuk menyimpan, memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan;
    2. pengurusan persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dimaksudkan untuk disimpan, dipamerkan atau diolah lebih lanjut oleh perusahaan lain;
    3. pengurusan tempat usaha tetap semata-mata dimaksudkan untuk pembelian barang-barang atau barang dagangan, mengumpulkan informasi bagi keperluan perusahaan, untuk tujuan periklanan, memberikan informasi atau untuk menjalankan kegiatan-kegiatan yang bersifat persiapan ataupun penunjang bagi perusahaan.
  • apabila perusahaan tersebut menjalankan usahanya melalui agen yang bertindak bebas (independent agent). Independent agent adalah agen yang menjalankan usahanya secara bebas tanpa adanya instruksi dari perusahaan di luar negeri (non resident taxpayer) misalnya makelar, komisioner umum.
  • apabila suatu perusahaan yang berkedudukan di suatu negara treaty partner yang menguasai atau dikuasai oleh perusahaan lain yang berkedudukan di negara treaty partner lainnya ataupun menjalankan usaha di negara treaty lainnya (baik melalui suatu BUT maupun dengan cara lain).

3. Klasifikasi Bentuk Usaha Tetap

Keberadaan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia dapat diidentifikasi kedalam beberapa kelompok yaitu: i) BUT fasilitas fisik (assets type), (ii) BUT aktivitas (activity type), (iii) BUT keagenan (agency type), dan (iv) BUT asuransi (insurance type).

(i) BUT Fasilitas Fisik
Keberadaan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia timbul apabila perusahaan asing tersebut memiliki fasilitas fisik yang merupakan tempat untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usahanya di Indonesia. Fasilitas fisik tersebut merupakan milik sendiri atau disewa dari pihak lain. Contoh fasilitas fisik antara lain adalah:

  • tempat kedudukan manajemen (a place of management);
  • suatu cabang (a branch);
  • suatu kantor (an office);
  • suatu pabrik (a factory);
  • suatu bengkel (a workshop);
  • suatu gudang atau tempat penyimpanan barang sebagai tempat penjualan (a warehouse or promises used as sales outlet);
  • suatu tambang, sumur minyak atau gas, suatu tempat penggalian atau ekplorasi atau eksploitasi sumber daya alam, rig untuk pengeboran atau kapal yang dipergunakan untuk eksplorasi atau ekploitasi sumber daya alam (a mine, an oil or gas well, a quarry or any other place of extraction or exploration or exploitation of natural resources, drilling rig or worker ship used for exploration or exploitation of natural resources).

(ii) BUT Aktivitas
Keberadaan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia timbul apabila perusahaan asing tersebut menjalankan kegiatan jasa-jasa (furnishing of services) di Indonesia dalam jangka waktu melebihi tes waktu (time treshold). Sesuai Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan, termasuk BUT Aktivitas adalah:

  • proyek konstruksi, proyek perakitan, instalasi atau kegiatan pengawasan yang ada hubungannya dengan proyek tersebut, dan
  • pemberian jasa termasuk jasa konsultan yang dilakukan oleh suatu perusahaan melalui karyawan atau orang lain yang dipekerjakan oleh perusahaan itu untuk tujuan tersebut, kegiatan itu berlangsung selama lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.

(iii) BUT Keagenan
Dianggap timbul suatu BUT perusahaan asing di Indonesia apabila perusahaan asing tersebut menjalankan usahanya di Indonesia melalui perusahaan lain yang bertindak sebagai agen yang tidak bebas (dependent agent). Yang dimaksud dengan dependent agent adalah agen yang didalam melaksanakan usahanya bertindak untuk dan/atau atas nama perusahaan di luar negeri atau kegiatan agen tersebut seluruhnya atau hampir seluruhnya untuk perusahaan di luar negeri.

(iv) BUT Asuransi
Keberadaan BUT perusahaan asuransi asing timbul di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menutup resiko secara langsung di Indonesia. Pada umumnya, jenis BUT ini belum ada karena perusahaan asing dilarang berusaha secara langsung di Indonesia kecuali dalam bentuk joint venture.

Dalam tax treaty, tes waktu dianggap timbulnya suatu BUT di Indonesia pada umumnya lebih lama ketimbang tes waktu yang diatur dalam Undang-Undang PPh. Misalnya, tes waktu untuk pemberian jasa lain-lain sesuai Undang-Undang PPh adalah 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan tetapi untuk tax treaty Indonesia-Australia adalah 120 hari dalam 12 bulan (lihat tabel 2). Perbedaan ini timbul dari hasil kesepakatan wakil dari kedua negara di dalam perundingan. Negara-negara maju (developed countries) cenderung menginginkan tes waktu yang lebih lama sehingga kemungkinan timbulnya suatu BUT sehubungan dengan jasa konstruksi ataupun pemberian jasa-jasa lain-lain di Indonesia dapat dihindari. Sehingga atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh perusahaan asing di Indonesia tidak dikenai pajak di Indonesia.

4. Cakupan Penghasilan Suatu BUT

Sesuai Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, penghasilan terutang pajak suatu BUT perusahaan asing di Indonesia adalah penghasilan yang diterima atau diperolehnya dari Indonesia. Dan sesuai Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, diatur mengenai cakupan penghasilan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia yaitu:

(i) Sesuai Attribution Rule, penghasilan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia adalah penghasilan yang berasal dari kegiatan usahanya di Indonesia. Misalnya, apabila BUT perusahaan asing tersebut bergerak dibidang perdagangan, maka penghasilannya di Indonesia adalah penghasilan yang berasal dari kegitan usaha perdagangannya di Indonesia;

(ii) Sesuai Force of Attraction Rule, penghasilan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia adalah termasuk penghasilan kantor pusatnya dari Indonesia yang diperolehnya dari kegiatan usaha yang sejenis dengan kegiatan BUT nya di Indonesia. Dengan demikian, penghasilan yang diterima atau diperoleh kantor pusatnya dianggap sebagai penghasilan BUT nya di Indonesia.;

(iii) Sesuai Effectively-Connected Rule, penghasilan pasif (misalnya: bunga dan royalty) yang diterima atau diperoleh kantor pusatnya dan memiliki hubungan efektif dengan kegiatan usaha BUT nya di Indonesia dianggap sebagai penghasilan BUT nya di Indonesia.

Umumnya, penentuan cakupan penghasilan suatu BUT diperlukan untuk melindungi hak pemajakan negara-negara berkembang (developing countries) seperti Indonesia. Dalam perundingan, cakupan penghasilan suatu BUT sering diperdebatkan oleh wakil-wakil dari kedua Negara.

5. Pajak Penghasilan Badan dan Branch Profit Tax

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya di atas bahwa untuk tujuan perpajakan, perlakukan perpajakan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia diperlakukan sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya yaitu antara lain :

  1. Kewajiban Perpajakan Tahunan :
    • Lapor dan setor PPh Pasal 29 atas Laba Usaha Badan PPh Badan Terutang (Tarif Progresif) :
      • 10% x 50juta
      • 15% x 50 juta
      • 30% x sisanya
    • Lapor dan setor PPh Pasal 25 atas angsuran PPh Badan
      • 1/12 bulan x (PPh Badan Terutang – Kredit Pajak PPh 21,22,23,24)
  2. Kewajiban Perpajakan Bulanan :
    • Memotong PPh Pasal 21 atas gaji yang dibayarkan kepada karyawan WNI
    • Memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran bunga/royalti, pembayaran jasa, dan pembayaran sewa
    • Memotong PPh Pasal 26 atas gaji yang dibayarkan kepada karyawan WNA
    • Memotong PPh Pasal 4 ayat (2) Final atas pembayaran sewa tanah dan/atau bangunan

Namun demikian atas laba bersih setelah Pajak Penghasilan Badan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia dikenakan tambahan pajak yang sering disebut sebagai branch profit tax dengan tarif sebesar 20% dari laba bersih setelah pajak (net income after tax).

Apabila perusahaan asing tersebut berasal dari negara treaty partner, maka besarnya tarif branch profit tax sesuai ketentuan tax treaty yang berlaku (lihat tabel 1). Penentuan besarnya tarif branch profit tax sering menjadi perdebatan dalam perundingan tax treaty Indonesia dengan negara-negara lainnya karena beberapa hal yaitu: (i) negara treaty partner tidak menerapkan branch profit tax di negaranya, atau (ii) untuk melindungi kepentingan Indonesia dibidang industri hulu Minyak dan Gas Bumi.

Dalam rangka menentukan besarnya penghasilan kena pajak (taxable income) suatu BUT perusahaan asing di Indonesia, pembayaran ke kantor pusat yang tidak boleh dikurangkan sebagai deductible expenses adalah:

  • royalti atau imbalan lainnya yang berhubungan dengan penggunaan harta, paten atau hak-hak lain;
  • imbalan yang berhubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
  • bunga kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.

Selain itu, biaya administrasi kantor pusat yang dialokasikan ke BUT nya di Indonesia yang dapat dibebankan hanya sebesar rasio antara jumlah penghasilan BUT nya di Indonesia dengan jumlah penghasilan globalnya dikalikan dengan jumlah biaya administrasi kantor pusat.

Insentif pajak yang diperoleh suatu BUT perusahaan asing di Indonesia adalah pembebasan PPh Pasal 26 ayat (4) atas branch profit tax apabila memenuhi persyaratan yangbersifat kumulatif yaitu:

  • Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
  • Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut; dan
  • Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan produksi komersial.

6. Penutup

  • BUT adalah subyek pajak luar negeri yang memiliki fleksibilitas dan keragaman jenis sehingga didalam praktiknya sulit untuk melakukan pengawasan terhadap kepatuhannya. Misalnya, keberadaan suatu BUT perusahaan asing yang tergolong BUT Aktivitas di Indonesia hanya sepanjang perusahaan asing tersebut menjalankan usahanya di Indonesia. Apabila perusahaan asing tersebut sudah tidak memiliki kegiatan di Indonesia karena proyeknya selesai maka kewajiban subyektifnya berakhir bersamaan dengan perusahaan asing tersebut meninggalkan Indonesia.
  • Perlu partisipasi masyarakat dunia usaha untuk menginformasikan keberadaan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia. Misalnya, PT. Indosat melakukan Engineering and Procurement Contract (EPC) dengan perusahaan kontraktor asing sebaiknya menginformasikan secara dini kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat ia terdaftar. Contoh lainnya, apabila perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang minyak dan gas bumi (seperti: Pertamina dan Conoco Phillips) menunjuk service provider company untuk melakukan Turnkey Project, maka disarankan agar segera menginformasikannya kepada Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing.
  • Seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang dimanfaatkan secara luas di dalam dunia usaha (misalnya: electronic commerce), disarankan agar pengertian BUT perlu diperluas dalam Undang-Undang PPh sehingga Indonesia dapat memajaki transaksi tersebut.

Laman